No Script

Dear Lily,
Mungkin kedengarannya membual, tetapi aku bersungguh-sungguh....
Kita sudah lama saling kenal, 
tetapi kau sama sekali tidak pernah memberi kesempatan
Aku menyayangimu Lily, 
Oh, bukan, aku mencintaimu, sungguh,
Jauh sebelum aku kenal kata cinta itu sendiri....
Jauh sebelum aku tahu bahwa cinta itu rumit, apalagi cintai kau...

Lily, kumohon jangan kau hakimi kesalahan-kesalahan kecil yang kubilang kenakalan, walau kau tak pernah menganggapnya demikian...
Jangan kau buat itu sebagai alasan menjahiku, sebagai sebab perbedaanku darimu, 
seakan aku bergelantungan dalam usaha mencari pembenaran dalam keremang-remangan, 
dan kau sudah memastikan dirimu dalam kesucian dan duduk di atas pelangi,
dan kau tak ingin sekalipun menganggapnya sama, sungguh Lily aku menderita,

Sejenak aku berpikir, apakah aku pantas, 
Lily, mungkin aku jauh dari kata pantas, tetapi selama ini aku berusaha menjadi seseorang yang pantas untukmu...
Kupelajari banyak hal yang orang-orang belum mampu pelajari untuk menunjukkan bahwa aku pantas untukmu....
Aku bergaul dengan orang-orang hebat, yang ditangan mereka, dunia akan berpusar,
agar tak ada satupun yang berani menganggapmu rendah,
karena kau tetap murni untukku...
Walaupun kau memandang rendah teman-temanku....
Tak apa, 
terpenting darimu, terlepas dari kau anggap apa sekarang aku ini,
Kau melihat diriku apa adanya, dengan segenap rasa cintaku padamu,
Bahwa aku tetap...
Tetap temanmu, dan selamanya akan begitu...
Aku tahu kau mampu untuk itu...
Lily aku mencintaimu...


Oh iya Lily, apakah aku sudah memberitahumu? Sudah beberapa lama sih, tapi aku belum menunjukkannya padamu, maaf... tapi aku berjanji suatu saat kau akan melihatnya. Patronusku rusa, rusa betina perak.


Love

Severus
 


Snape menggulung rapi perkamen dengan lambaian tongkat sihirnya, membentuk gulungan ketat yang kemudian diikatnya dengan pita berwarna perak. Ia belum pernah merasa semengenaskan seperti saat ini. Saat ini perasaannya begitu gamblang, penuh dengan keragu-raguan. Ia hanya sedikit terganggu dari kegiatannya, karena seekor laba-laba hitam turun melewati mejanya.

Snape biasanya selalu merasa bersemangat kalau menyangkut soal Lily. Selalu seperti itu, seperti cipratan cairan kuning keemasan Felix Felicis yang keluar dari kuali, seperti menari. Seperti euforia yang meluap-luap dari dalam dirinya bertahun-tahun lalu saat melihat Lily dan kakaknya dari kejauhan, melihat bagaimana Lily mendemonstrasikan sihirnya tanpa mengetahui bahwa ia penyihir.  Tapi ia tahu, Snape tahu. Seperti memiliki suatu rahasia yang ingin cepat-cepat ia bagikan, seolah kebahagiaannya dapat membuat ia selamanya bahagia, dapat menukar kehidupannya saat itu. Rahasia yang selalu dibawanya untuk dipersembahkan kepada Lily, sejak pertama kali ia melihatnya dan Snape begitu bersemangat ingin memberitahunya, ingin menjadi orang pertama yang menyadari ini, bahkan dari Lily sendiri. 

Mereka bertemu pertama kali di mini market di seberang taman bermain. Lily bersama ibu dan kakak perempuannya, sedangkan Snape berjalan sendiri di sepanjang lorong di antara rak-rak pajang. Hanya berputar-putar, mencari kesibukan. Ayahnya sedang berteriak-teriak di rumah. Ia belum mau kembali. Saat itu kemarahan Snape sedang menguasainya, tampangnya buruk dengan jaket yang terlalu panjang di tangan kecilnya, serta rambut hitamnya yang menutupi mata. Snape hampir-hampir mirip pengutil-pengutil Muggle yang fotonya terpampang di sebelah kanan dinding meja kasir. Ia terus menyusuri rak makanan yang ada dihadapannya, namun kejadian ajaib itu berlangsung begitu saja di depan wajahnya. Ia sudah sering mengalami hal itu, ia tahu ia berbeda, tetapi ini lain. Bukankah anak perempuan itu Muggle. 

Sejenak dikiranya tumpukan kaleng biskuit itu diam tak bergerak dalam tumpukan tingginya. Namun ia salah lihat, dalam sekejap mata tumpukan kaleng itu berjatuhan beramai-ramai seperti serangan, ia tidak akan terluka sedikitpun tetapi malang, anak perempuan itu menjerit dan berusaha melindungi kepalanya dengan kedua tangannya yang kecil. Lily terlalu dekat dengan tumpukan kaleng biskuit yang runtuh itu. Jeritannya semakin kuat ketika orang-orang di mini market itu berbalik mencari asal suara, termasuk ibu dan kakak perempuannya. Namun di lorong rak makanan itu, sejenak hanya ada Snape dan Lily. 

Sepersekian detik kemudian --menurut Snape, kaleng-kaleng biskuit itu membeku di udara, seakan-akan ada yang mengenainya mantera pembeku atau apa. Snape tak berkedip, jeritan Lily pun terhenti ikut terpesona dengan peristiwa sekejap itu. Dalam sepersekian detik itu pula semua suara bak disenyapkan. Lily pun seperti melayang beberapa senti dari lantai, kemudian mendarat tak jauh di depan Snape. Dan detik selanjutnya suara gaduh kaleng-kaleng biskuit berjatuhan ke lantai memenuhi mini market.

Snape mengerang perlahan, mencoba mengembalikan kesadarannya setelah mengenang memori yang panjang. Ia sedang duduk di salah satu kursi berderet di perpustakaan. Berbagai macam buku ditumpuk rapi di atas meja dalam beberapa kelompok. Si laba-laba hitam masih saja berputar-putar di atas salah satu tumpukan buku Snape. Snape kemudian mencari-cari dalam tasnya. Diambilnya kotak merah jambu yang ditemukannya bersanding dengan buku Pembuatan-Ramuan Tingkat Lanjut oleh Libatius Borage-nya. 

Kotak itu membuka saat Snape menyentuhkan tongkat sihir di atasnya. Dengan penerangan matahari senja yang berwarna keemasan yang masuk melalui jendela-jendela besar perpustakaan, Snape mengamati liontin perak berbentuk rusa betina kecil dengan mata berhiaskan batu mirah delima kecil. Tidak murah, Snape membutuhkan tabungan tujuh tahunnya untuk membeli itu. Diletakkannya gulungan perkamen di sebelah rusa kecil itu. Ditutupnya lagi, dan dimasukkan kembali ke dalam tas dengan hati-hati.

Dibereskannya perkamen-perkamen yang terjulur keluar dari gulungan. Menutup botol tinta dan memasukkan pena bulu ke dalam tas. Ia akan beranjak pergi. Diselingi dengan melihat arlojinya yang menunjukkan hampir pukul enam. Hanya ada waktu lima menit untuk ke Aula Depan tempat Lily sekarang sedang menunggu. 

Ia bergegas melewati bangku-bangku yang berderet dengan decitan pelan. Tidak menyadari Madam Pince sedang mengamatinya dari ekor matanya, mencari-cari celah untuk didetensi. Severus Snape, berlari cepat menuju tangga pualam dan kembali ke Aula Depan. Jubah hitam dengan ular Slytherin di dadanya, menyibak perlahan mengikuti langkah-langkah lebarnya. Rambutnya hitam lurus dan panjang, membingkai wajahnya seperti gordyn tua di ruang rekreasi Slytherin yang menjuntai di dinding-dinding tidak berjendela.

Suara anak-anak mulai ramai memenuhi Aula Besar, memulai makan malam dengan gaduh. Serombongan anak Griffindor kelas enam melewatinya tampak garang, melangkah memasuki aula besar bergabung dengan teman-temannya yang yang sedang tertawa-tawa namun dengan tampang canggung sedikit melirik ke arah Snape, Snape tidak peduli. Snape hanya melambai sekedarnya pada beberapa teman Slytherin-nya dan menatap tajam pada beberapa anak Hufflepuf kelas satu yang takut-takut.

Ia kemudian hampir tertelan gelombang anak-anak berikutnya yang akan ke Aula Besar, menyeruak sedikit, menjulurkan lehernya sekuat mungkin mencari-cari dan kemudian dilihatnya Lily bersandar agak tersembunyi di salah satu pilar Aula Depan. Snape menghampirinya. Ia tersenyum, Lily tidak membalasnya.

“Hi, Lily, kupikir kau sudah tak berminat bertemu dengaku lagi,” Snape memulai, namun senyum telah pudar dari wajah kurusnya. 

“Kupikir kau tak akan pernah memaafkan aku, dengar aku minta maaf” Snape menghadap ke arah Lily, tampangnya aneh namun penyesalan tidak tergambar jelas pada wajahnya. 

Lily memalingkan wajahnya kepada Snape.
  
“Tidak....” Lily menggeleng singkat, melipat kedua tangannya di dada dan berdiri kaku. 

“Tidak akan pernah memaafkanmu kalau kau terus-terusan dan semakin jauh Sev!!” Lily menatap tajam Snape yang sesaat akan membalas namun Snape akhirnya diam, ikut bersandar di sisi pilar yang lain. Snape menghela nafas panjang

Lama sunyi, kemudian Lily yang memulai.

“Maaf, aku sangat sibuk, Sev, Newt membuatku terus di perpustakaan,” Lily mendengus perlahan. Kemudian ia melepaskan diri dari sedekapnya. Snape kemudian berdiri tegak lagi, kembali menghadap Lily, kekecewaannya sudah agak menguap.

“Ini, selamat ulang tahun,” Lily menjulurkan bungkusan ke arah Snape. “Sudah lewat memang dan aku tahu kau hanya merayakannya dengan teman-teman Death Eaters-mu, kukira kalian sudah melakukan pertemuan dengannya ya,” Lily berkata dengan nada tidak suka tergambar benar di suaranya. 

Snape mengambil bungkusan dari tangan terulur Lily, namun wajahnya muram.

“Terima kasih, dan aku tidak suka kau menyebut-nyebut teman-temanku begitu Lily dan kupikir bukan Newt yang membuatmu sibuk akhir-akhir ini, kudengar kau sering jalan dengan Potter sekarang--

“Bukan urusanmu Sev,” Lily memotong tak acuh.

“Apa kau bilang Lily? Bukan urusanku? Kupikir kita teman?” Snape berang, ditatapnya Lily dengan sarat kemarahan. 

“Teman?” nada muak terdengar dari mulut Lily. Tangan Snape otomatis mengejang mendengar kata itu dengan nada penuh kejijikan dari Lily, tidak sadar hadiah pemberian Lily pun hampir teremas dalam genggamannya.

“Tidak lagi, sejak aku tidak suka pada teman-temanmu Sev, kau tahu itu, sudah berulang kali kukatakan padamu, mereka itu gila, dan aku tak mau kau seperti mereka Sev, dan bukankah kalian bangga disebut sebagai Pelahap Maut, iya kan?!” Lily sekarang tidak lagi bersedekap, tangannya mengepal marah, dan wajahnya sedikit memerah, walau di tengah dinginnya senja itu. Sudah berkali-kali Lily coba menyadarkan Severus. Ia tak tahu lagi apa selanjutnya.

“Lily, sudahlah aku tak ingin membahasnya,” Severus tampak merana. Tidak sanggup meneruskan amarahnya, tidak sanggup pula memberikan alasan-alasan yang pantas untuk membela. Dirapatkan lilitan syal hijau-perak slytherin di lehernya. 

Angin dingin semakin menjadi-jadi dan awan hitam besar menggantung di langit Hogwarts. Gelap mulai merayapi. Siluet pepohonan Hutan Terlarang kini terlihat seperti bayang-bayang raksasa yang mengerikan. Danau yang membeku pun tampak hitam tanpa sinar bulan.

Selalu seperti ini, Snape membatin. Mereka terus saja bertengkar bila bertemu seperti saat ini. Membahas hal yang harusnya tidak perlu diributkan Lily, menurut Snape. Snape hanya menatap Lily yang tidak balas menatapnya. Sekarang, ia malah melihat cahaya-cahaya dari menara Griffindor di kejauhan, ada perayaan pesta kembang api nampaknya.

“Bikin ulah lagi, si Potter itu. Kupikir Newt akan membuatnya gila dan berhenti berbuat hal-hal tak berguna itu--

“Sev, hentikan!” Lily memandang gusar Severus. Severus kaget dan mengernyit tak percaya. Diurungkannya lagi niat berkata-kata yang mungkin akan membuat Lily lebih marah. Perhatian Lily kemudian beralih pada anak-anak yang mulai keluar dari Aula Besar, menuju Ruang Rekreasi masing-masing. Tidak disadarinya Severus Snape berusaha mencari kata-kata untuk memulai.

“Lily, kau tahu, kunjungan Hogsmeade berikutnya, pertengahan Februari?” Snape memandang Lily takut-takut.

“Hhhmm,” Lily menggumam perlahan, tidak jelas. “Aku belum melihatnya di papan pengumuman, tapi aku sudah tahu, kenapa memangnya?” Lily kemudian memandang Snape curiga.

“Bagaimana menurutmu kalau kita pergi bersama? Ke Hogsmeade maksudku,” Snape berhenti memperhatikan Lily sekarang. Ia malah asyik menatap ujung sarung tangan wolnya. Namun Lily malah terus memperhatikan Snape, rona merah merayapi pipinya, ada raut tidak percaya tersirat di wajahnya.

“Apa??!! Hogsmeade? Denganku?” Lily malah balas bertanya, tapi nadanya kelewat tinggi.

“Kalau kau tak mau, kalau kau sudah ada janji...” Snape terdiam perlahan mengerling Lily getir, “dan jangan katakan kalau Potter telah mengajakmu,” ada nada kesal dalam suara Snape yang mengeras, sedangkan sebelumnya adalah nada hampir-hampir kecewa. 

Sejenak Lily bimbang. Ia kembali teringat ketika James berusaha mendekatinya di akhir pelajaran ramuan senin lalu disela-sela uap-uap hijau yang menguar dari dalam kuali. Lily tentu saja tercengang, James mengajaknya ke Hosmeade di hari yang sama seperti yang diminta Severus sekarang. Dan Lily mungkin terlalu merasa kasihan pada James sehingga kemudian berkata iya, namun sekarang ia tak tahu harus berkata apa.

“Te..te..tentu tidak Sev, kau bercanda!! James mana mungkin mengajakku,” Lily sedikit membual. Namun Snape kelihatan tidak menikmati bualannya.

“Jangan menyangkal Lily, aku tahu kau sudah sering jalan dengan Potter, dan dia suka padamu,” Snape melempar tatapan tajam kepada Lily. 

“Kalau menurutmu, sama-sama mendekam di kantor Slughorn,” Lily kini melipat kedua tangannya di dada, dan menekankan dengan nada tajam pada tiap-tiap kata-katanya, “memilah-milah akar bawang dan duri landak laut, karena dia didetensi dan karena Slughorn berpendapat aku terlalu pandai ramuan adalah acara kencan, aku harus memberimu selamat karena tepat sekali pemikiran konyolmu itu.” Lily terlihat gusar.

“Terserah kau,” kata Snape jengkel, kemudian. Ia berbalik, tak lagi memandang Lily. Lily diam. Ia kehabisan kata-kata, resah...

Seandainya saja Sev kau lebih dulu, Lily membatin lemah... 

Hening lama, keduanya dalam pikirannya masing-masing...

Sejenak Lily urung bicara. Suaranya tercekat, tidak mau keluar dari tenggorokannya. 

“Baiklah, Sev, aku akan pergi denganmu, tapi...” Lily terhenti, muram...

“Apa?” tanya Snape yang berpaling padanya secepat engsel lehernya bisa berderit dan mulai agak bersemangat. 

*semua Snapers berlonjak kegirangan Grin*

“Jangan lakukan hal-hal buruk lagi dengan teman-temanmu, oke? Berhentilah bergaul dengan mereka,” kata Lily hampir memohon. 

*author udah ampir berkaca-kaca Lips Sealed Lips Sealed* *kabur.... Grin*

“Baiklah, akan aku usahakan,” Snape mengangguk mengiyakan dengan agak ragu. Ia tidak yakin, permintaan Lily satu ini sepertinya sangat sulit untuk dilaksanakan. Lily kemudian tersenyum singkat. Snape hanya menyeringai janggal.

Lily sudah gila, ia merasa dirinya sudah gila, sedangkan Snape merasa begitu beruntung hari itu. Keberuntungan yang mungkin jarang sekali ia dapatkan, dan pada akhirnya kembali padanya. Ia tersenyum, mengedarkan pandangan berterima kasih, dan tentu saja kegirangan. Lily membalas senyumnya sopan. Kemudian begitu saja, seperti sepasang sahabat lama, obrolan mengalir di antara mereka, kecuali menghindari topik-topik terlarang yang akan memecahkan perang dunia.

Dengan tak berbelas kasihan malam kian berkuasa, gelapnya telah menembus dinding-dinding kastil yang berpenerangan remang-remang. Aula Depan sesepi pinggiran danau yang sedang memantulkan cahaya bulan setengah. 

Sebentar lagi purnama, batin Lily diam-diam, pikirannya beralih pada seseorang yang sedang meringkuk di sofa Ruang Rekreasi Gryffindor, dengan buku Pertahanan Ilmu Hitam di pangkuannya, mendongak dan tertawa-tawa bersama Sirius dan Peter melihat James membuat tipuan kecil untuk anak kelas satu. Jelas sekali ia bisa membayangkan Remus Lupin, sahabatnya juga, walaupun ia tidak benar-benar berada di hadapannya.

Snape melongok arlojinya lagi, sudah larut. Kemudian mereka berpisah setelah Lily berjanji akan menunggunya di tempat yang sama dengan saat itu, tepat pagi tanggal 14 Februari.

James maafkan aku, aku hanya ingin sahabatku kembali... . Kata Lily muram dalam hati.

Malam itu saat memasuki ruang rekreasi Gryffindor dan mendapati James sedang berdiri di tengah teman-temannya yang luar biasa itu, Black, Lupin, dan Pettigrew, Lily menguatkan dirinya. James tentu saja, sedang mendemonstrasikan kecakapan kecilnya membuat kembang api yang berputar-putar indah di langit-langit. Kemudian Lily memanggilnya pelan dan mengajaknya menjauh dari keramaian diikuti oleh siul dan sorakan teman-temannya.

James hanya memandang Lily tak percaya. Lily minta maaf, membatalkan kencan mereka, dan kemudian berlalu meninggalkan James yang kemudian berdiri mematung di pojok Ruang Rekreasi.


0 komentar to "No Script"

Posting Komentar

Powered By Blogger

Total Tayangan Halaman

Just have fun ! No COPAS. Diberdayakan oleh Blogger.

The Beatles

The Beatles

Pengikut


bloguez.com

ShoutMix chat widget